tugas 8
Nama
: Riyan Yudistira AdiWinata
NPM : 29414565
kelas : 1IC11
PERBEDAAN
KEPENTINGAN, PRASANGKA, DISKRIMINASI DAN ETHOSENTRIS
Kepentingan
Kepentingan
arti lainnya adalah sangat pelu, sangat utama (diutamakan), jadi pengertian kepentingan
salah satunya adalah diutamakan.
dalam
penjelasan Pasal 35 (c) UU No.16 Tahun 2004, kepentingan umum adalah
kepentingan negara/bangsa dan masyarakat luas. Jadi kepentingan umum di sini
harus diartikan sebagai kepentingan di semua aspek dalam bernegara, berbangsa,
dan bermasyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dan yang menyangkut
kepentingan hajat hidup masyarakat yang luas.
Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka
dan diskriminasi merupakan dua hal yang ada relevansinya. Kedua tindakan
tersebut dapat merugikan pertumbuhan, perkembangan dan bahkan integrasi
masyarakat. Dari peristiwa kecil yang menyangkut dua orang dapat meluas dan
menjalar, melibatkan sepuluh orang, golongan atau wilayah disertai yindakan
kekerasan dan destruktif yang merugikan.
Prasangka
mempunyai dasar pribadi, di mana setiap orang memilikinya, sejak masih kecil
unsur sikap bermusuhan sudah tampak. Melalui proses belajar dan semakin
besarnya manusia, membuat sikap cenderung untuk membeda-bedakan. Perbedaan yang
secara sosial silaksanakan antar lembaga atau kelompok dapat menimbulkan
prasangka melalui hubungan pribadi akan menjalar, bahkan melembaga (turun
menurun) sehingga tidak heran apabila prasangka ada pada mereka yang tergolong
cendekiawan, sarjana, pemimpin atau negarawan. Jadi prasangka pada dasarnya
pribadi dan dimiliki bersama. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian
dengan seksama, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa
atau masyarakat multi etnik.
Suatu
hal yang saling berkaitan, apabila seorang individu mempunyai prasangka rasial
biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang diprasangkainya. Tetapi
dapat pula yang bertindak diskriminatif tanpa didasari prasangka, dan
sebaliknya seorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif.
Perbedaan terpokok antara prasangla dan diskriminatif ialah bahwa prasangka
menunjuk pada aspek sikap sedangkan diskriminatif menunjuk pada tindakan.
Menurut Morgan (1966) sikap ialah kecenderungan untuk berespons baik secara
positif atau negatif terhadap orang, objek atau situasi. Sikap seseorang baru
diketahui bila ia sudah bertindak atau bertingkah laku. Oleh karena itu bisa
saja bahwa sikap bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan.
Jadi
prasangka merupakan kecenderungan yang tidak tampak, dan sebagai tindak
lanjutnya timbul tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian
diskriminatif merupakan tindakan yang realistis, sedangkan prasangka tidak
realistis dan hanya diketahui oleh individu masing-masing.
Ethosentris
Etnosentris
( dalam bhs Indonesia ) adalah kecenderungan sikap Individu yang merasa cara
hidup/ budaya mereka lebih superior dan beradab dari yang lainnya.
Etnosentrisme yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan
norma-norma kebudayaannya sendiri sebagaai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak
dan diepergunakan sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakannya dengan
kebudayaan lain. Etnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk
menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolok ukur kebudayaannya
sendiri.
Ethnosentrisme
dan Stereotype Perasaan dalam dan luar
kelompok merupakan dasar untuk suatu sikap yang disebut dengan ethnosentrisme.
Anggota dalam lingkungan suatu kelompok , punyai kecenderungan untuk menganggap
segala yang termasuk dalam kebudayaan kelompok sendiri sebagai utama, baik
riil, logis, sesuai dengan kodrat alam, dan sebagainya, dan segala yang berbeda
dan tidak masuk ke dalam kelompok sendiri dipandang kurang baik, tidak susila,
bertentangan dengan kehendak alam dan sebagainya. Jecenderungan-jecenderungan
tersebut disebut dengan enthosentrisme, yaitu sikap untuk menilai unsur-unsur
kebudayaan orang lain dengan mempergunakan ukuran-ukuran kebudayaan sendiri.
Sikap
enthosentrisme ini diajarkan kepada anggota kelompok baik secara sadar maupun
secara tidak sadar, bersama dengan nilai-nilai kebudayaan. Sikap ini dipanggil
oleh suatu anggapan bahwa kebudayaan dirinya kebih unggul dari kebudayaan
lainnya. Bersama itu pula ia menyebarkan kebudayaannya, bila perlu dengan
kekuatan atau paksaan.
Proses
diatas sering dipergunakan stereotype, yaitu gambaran atau anggapan ejek.
Dengan demikian dikembangkan sikap-sikap tertentu, misalnya mengejek,
mengdeskreditkan atau mengkambinghitamkan golongan-golongan tertentu.
Stereotype diartikan sebagai tanggapan mengenai sifat-sifat dan waktu pribadi
seseorang atau golongan yang bercorak nnegatif sebagai akibat tidak lengkapnya
informasi dan sifatnya yang subjektif.
Dalam
melakukan penilaian mengenai sesuati, seseorang cenderung menyederhanakan
kategori ke dalam dua kutub, seperti kaya miskinm rajin malas, pintar bodoh.
Kecenderungan menyederhanakan secara maksimal ini disebabkan individu lebih
mudaj melakukan hal ini dari pada melakukan penilaian secara majemuk. Dengan
demikian stereotype bukan saja suatu kategori yang tetap, tetapi juga
mengandung penyederhanaan dan pemukulrataan secara berlebihlebihan.
Penyederhanaan dan pemukul rataan mengandung stereotype, sehingga merupakan
dasar dari prasangka.
Pertentangan
sosial, ketegangan/Konflik dalam masyarakat
Istilah
konflik cenderung menimbulkan respon-respon yang bernada ketakutan atau
kebencian, padahal konflik itu sendiri merupakan suatu unsur yang penting dalam
pengembangan dan perubahan. Konflik dapat memberikan akibat yang merusak
terhadap diri seseorang, terhadap anggota-anggota kelompok lainnya, maupun
terhadap masyarakat. Sebaliknya konflik juga dapat membangun kekuatan yang
konstruktif dalam hubungan kelompok. Jonflik merupakan suatu sifat dan komponen
yang penting dari proses kelompok, yang terjadi melalui cara-cara yang
digunakan orang untuk berkomunikasi satu dengan yang lain.
Konflik
mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih luas dari pada yang biasa
dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar dan
perang. Dasar konflik berbeda-beda. Dalam hal ini terdapat tiga elemen dasar
yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik yaitu :
1.
terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau bagian-bagiam yang terlibat dalam
konflik
2.
unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam
kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap,
maupun gagasan-gagasan.
3.
terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai
perbedaan-perbedaan tersebut.
Konflik
merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang
sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau permusuhan. Konflik dapat
terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu, sampai pada ruang
lingkup yang paling besar yaitu masyarakat :
1. Pada
taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk kepada adanya pertentangan,
ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan-dorongan yang antagonistik dalam
diri seseorang
2. Pada
taraf dalam kelompok, konflik-konflik ditimbulkan dari konflik-konflik yang
terjadi di dalam diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota
kelompok dalam tujuan-tujuan, nilai-niali dan norma-norma, motivasi-motivasi
mereka untuk menjadi anggota-anggota kelompok dan minat-minat mereka
3. Pada
taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan di antara nilai-nilai
dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma kelompok lain di
dalam masyarakat tempat kelompok yang bersangkutan berada. Perbedaan dalam
tujuan, niali, dan norma serta minat; disebabkan oleh adanya perbedaan
pengalaman hidup dan simber-sumber sosio ekonomis dalam suatu kebudayaan
tertentu dengan yang ada di da;am kebudayaan-kebudayaan yang lain.
Para
penulis seperti Berstein, Coser, Follett, Simmel, Wilson, dan ryland; memandang
konflik sebagai sesuatu yang tidak dapat dicegah timbulnya, yang secara
potensial dapat mempunyai kegunaan yang fungsional dan konstrutif; namun
sebaliknya, dapat pula tidak bersifat fungsional dan destruktif (Bernstein,
1965). Konflik mempunyai potensi untuk memberikan pengaruh yang positif maupun
negatif dalam berbagai taraf interaksi manusia.
Integrasi
Nasional
Integrasi
Masyarakat dan Nasional Integrasi masyarakat dapat diartikan adanya kerjasama
dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga-lembaga
dan masyarakat secara keseluruhan. Sehingga menghasilkan
persenyawaan-persenyawaan, berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama
dijunjung tinggi. Dalam hal ini terjadi kerja sama, akomodasi, asimilasi dan
berkuranmgnya sikap-sikap prasangka di antara anggota msyarakat secara
keseluruhan.
Integrasi
masyarakat akan terwujud apabila mampu mengendalikan prasangka yang ada di
dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi konflik, dominasi, mengdeskriditkan
pihak-pihak lainnya dan tidak banyak sistem yang tidak saling melengkapi dan
tumbuh integrasi tanpa paksaan. Oleh karena itu untuk mewujudkan integrasi
bangsa pada bangsa yang majemuk dilakukan dengan mengatasi atau mengurangi
prasangka. Perlu dicari beberapa bentuk akomodatif yang dapat mengurangi
konflik sebagai akibat dari prasangka, yaitu melalui empat sistem, diantaranya
ialah :
1. Sistem budaya seperti nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945
2. Sistem sosial seperti
kolektiva-kolektiva sosial dalam segala bidang
3. sistem kepribadian yang terwujud sebagai
pola-pola penglihatan (persepsi), perasaan (cathexis), pola-pola penilaian yang
dianggap pola-pola keindonesiaan, dan
Sistem
Organik jasmaniah, di mana nasionalime tidak didasarkan atas persamaan ras.
Untuk
mengurangi prasangka, keempat sistem itu harus dibina, dikembangkan dan
memperkuatnya sehingga perwujudan nasionalisme Indonesia dapat tercapai.
Berikut adalah Judul asli tulisan yang bertujuan mencegah disintegrasi
nasional, yang ditulis tahun 1998 oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang pada
saat itu menjabat sebagai Kasospol ABRI
INTEGRASI
NASIONAL
Oleh :
Susilo Bambang Yudhoyono
Kekhawatiran
tentang perpecahan (disintegrasi) nasional agaknya berangkat dari kondisi di
tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan
pertikaian. Gelombang reformasi telah menimbulkan berbagai kecederungan dan
realitas baru, seperti dihujat dan dibongkarnya format politik Orde Baru,
munculnya aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai
politik baru, lahirnya tuntutan daerah di luar Jawa agar mendapatkan otonomi
yang lebih luas atau merdeka sendiri, serta terjadinya konflik dan benturan
antara etnik dengan segala permasalahannya. Saat negeri ini belum bisa
mengatasi krisis nasional yang masih berlangsung, terutama krisis ekonomi,
fenomena politik dewasa ini telah benar-benar meningkatkan derajat kekhawatiran
atas kukuhnya integrasi nasional kita.
Membangun
dan mempertahankan integrasi nasional adalah agenda yang belum terselesaikan.
Untuk melakukannya diperlukan konsistensi, kesungguhan, dan sekaligus
kesabaran. Agar upaya pembinaan itu efektif dan berhasil, diperlukan pula
tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat. Framework yang hendak kita bangun
dalam upoaya memperkukuh integrasi nasional paling tidak menyangkut lima faktor
penting.
Pertama,
membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran, dan kehendak untuk
bersatu. Perjalanan panjang bangsa Indonesia untuk menyatukan dirinya, sebutlah
mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumaph Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan
1945, dan rangkaian upaya menumpas pemberontakan dan saparatisme, harus terus
dilahirkan dalam hati sanubari dan alam pikiran bangsa Indonesia.
Kedua,
menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus.
Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhnya juga
demokrasi. Iklim dan budaya yang demikian itu, bagi Indonesia yang amat
majemuk, sangat diperlukan. Tentunya, penghormatan dan pengakuan kepada
mayoritas dibutuhkan, tetapi sebaliknya perlindungan terhadap minoritas tidak
boleh diabaikan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan
hegemoni. Karena itu, premis yang mengatakan “The minority has its say, the majority has its way” harus kita
pahami secara arif dan kontekstual.
Ketiga,
membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan pada nilai dan norma yang
menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyuburkan integrasi nasional tidak
hanya dilakukan secara struktural tetapi juga kultural. Pranata itu kelak harus
mampu membangun mekanisme peleraian konflikk (conflict management) guna
mencegah kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan
konflik.
Keempat,
merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam segala
aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan semua pihak,
semua wilayah. Kebijakan otonomi daerah, desentralisasi, keseimbangan pusat
daerah, hubungan simetris mayoritas-minoritas, perlindungan kaum minorotas,
permberdayaan putra daerah, dan lain-lain pengaturan yang sejenis amat
diperlukan. Disisi lain undang-undang dan perangkat regulasi lain yang lebih
tegas agar gerakan sparatisme, perlawanan terhadap ideologi negara, dan
kejahatan yang berbau SARA tidak berkembang dengan luluasa, harus dapat kita
rumuskan dengan jelas.
Kelima,
upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang
arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun informal,
harus memilikim kepekaan dan kepedulian tinggi serta upaya sungguh-sungguh
untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional. Kesalahan yang lazim
terjadi, kita sering berbicara tentang kondisi objektif dari kurang kukuhnya
integrasi nasional di negeri ini, serta setelah itu “bermimpi” tentang kondisi
yang kita tuju (end state), tetapi kita kurang tertarik untuk membicarakan
prose dan kerja keras yang harus kita lakukan. Kepemimpinan yang efektif di
semua ini akhirnya merupakan faktor penentu yang bisa menciptakan iklim dan
langkah bersama untuk mengukuhkan integrasi nasional.
Kesimpulannya
Bagus
sekali saya dikasih materi seperti ini,saya belajar banyak ternyata perbedaan
itu ada dan kita tidak boleh rasis
Sumber
Wikepedia.com
danblog blog anak universitas gunadarma
No comments:
Post a Comment